Kasih Sayang Rasulullah Terhadap Muslim yang Meninggal (1)

“Sesungguhnya Muhammmad adalah orang yang terbaik bagi kemanusiaan” (Edward Monte; Orientalis Perancis dan Mantan Rektor Universitas Geneva).
“Diperkirakan jumlah orang yang meninggal dunia sepanjang abad 20 akibat bentrok senjata lebih dari 100 juta manusia. Sementara jumlah yang meninggal akibat kekerasan politik sebanyak 170 juta manusia.” (Robert Hindi, Awifulharb (Hentikan Perang), hal. 30, Lebanon, 2005).
Inilah kondisi mereka, namun Islam berbeda.

Kematian adalah sesuatu yang pasti terjadi pada setiap makhluk.
Allah berfirman:
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati." (Ali Imran :185).
Allah berfirman:
"Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah." (Al-Qashash: 88).
            Mati, sebagaimana dinamakan oleh Allah sebagai "musibah" (sesuatu yang menimpa), akan menimpa si mayat dan keluarganya.
Allah berfirman:
"Lalu kamu ditimpa musibah kematian." (Al-Mâidah: 106).
            Karena mati adalah sebuah musibah maka Rasulullah menjadi orang yang sangat sayang kepada orang yang meninggal beserta keluarganya.
Karena kematian adalah sesuatu yang dahsyat dan tidak ada kesempatan lagi untuk kembali ke dunia untuk kedua kalinya maka kasih sayang Rasulullah kepada orang meninggal sangat besar. Yang terpenting dari kasih sayang ini adalah perwujudan dalam amalan nyata, tidak sekedar menangis dan berduka cita. Kasih sayang Rasulullah menjadi pendorong segala kebaikan dan sumber segala kemanfaatan.
Manfaat yang paling besar adalah adanya peringatan yang terus menerus kepada kaum muslimin bahwa kematian pasti datang dan mereka semua pasti akan kembali. Tidak ada tempat lari dan bersembunyi. Oleh karena itu, setiap muslim hendaknya berusaha memperbanyak amal untuk suatu hari yang dia tidak akan bisa kembali pada kehidupan.
Rasulullah bersabda:
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ ‏‏اللَّذَّاتِ 
"Perbanyaklah mengingat pemutus[1] segala macam kenikmatan."[2]
Menurut Abu Hurairah maksudnya adalah ingatlah kematian.
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ.
“Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang singgah dalam perjalanan.”[3]
Beliau selalu menegaskan pentingnya beramal saleh. Beliau bersabda:
 يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ.
“Ada tiga perkara yang akan mengikuti orang yang meninggal. Dua akan kembali dan satu akan tinggal bersamanya. Dia diikuti oleh keluarganya, hartanya, dan amalnya. Keluarga dan hartanya pasti pulang, sementara amalnya akan tinggal bersamanya.”[4]
Penegasan akan pentingnya bersiap siaga untuk menghadapi kematian dan berusaha hidup zuhud di dunia termasuk di antara banyak hal yang diperhatikan oleh Rasulullah. Hal ini karena kasih sayang beliau kepada setiap orang yang tidak akan mendapatkan kesempatan kedua. Beliau secara khusus mengingatkan bahwa tobat tidak akan bermanfaat ketika telah berada di ambang kematian. Tobat harus dilakukan sebelum kematian datang.
Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ.
“Sesungguhnya Allah akan menerima taubat sebelum nyawa sampai di kerongkongan.”[5]
Setelah kehidupan ini, panjang atau pendek, kematian pasti akan datang pada waktu yang telah ditentukan. Allah berfirman:
 “Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. (Al-Munâfiqûn: 11).
Oleh karena itu, Rasulullah ingin sekali ketika kematian datang, ia bisa berada di sisi seorang muslim—khususnya kalau dia adalah seorang yang sudah mukallaf—untuk membantunya mendapat husnul khatimah (akhir yang baik). Ini adalah bagian dari cucuran rahmat beliau saw.
Abu Sa'id Al-Khudry menuturkan, ”Ketika Rasulullah datang (ke Madinah), kami memberitahu beliau setiap ada anggota keluarga kami yang mengalami sakaratul maut. Beliau datang sebelum orang ini meninggal. Beliau memohonkan ampun untuknya dan menanti kematiannya. Demikianlah seterusnya. Kadangkala beliau menunggu cukup lama. Hal ini cukup menyulitkan beliau. Kami berkata, ‘Yang lebih sopan terhadap beliau adalah memberi tahu beliau setelah seseorang meninggal dunia.’ Maka apabila ada yang meninggal di antara kami, kami baru memberitahu beliau. Beliau pun datang untuk beristighfar kepadanya dan menyalatkannya. Apabila beliau masih ingin menyaksikan proses pemakamannya, beliau akan menunggu sampai selesai. Jika beliau ingin pergi, maka beliau pun pergi setelah selesai malaksanakan shalat jenazah. Kami mengerjakan seperti ini hingga akhirnya kami berpendapat bahwa sebaiknya kami yang membawanya menuju rumah Rasulullah (masjid Nabawi) sehingga beliau tidak perlu menunggu dan merasa terganggu. Dan inilah yang dikerjakan hingga hari ini.”[6]
Satu peranan yang paling penting dari kunjungannya kepada orang yang akan meninggal ini adalah menuntunnya untuk bersyahadat. Beliau berpesan dalam hal ini:
لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ.
“Tuntunlah orang yang akan meninggal dengan ucapan La ilâha illallâh.”
            Beliau sangat memerhatikan keadaan seorang muslim sampai ketika saat kematiannya. Beliau bahkan melakukannya kepada non muslim karena kasih sayang beliau kepada mereka. Saat pamannya, Abu Thalib, hendak meninggal dunia, Rasulullah datang dan berkata, “Ucapkanlah La ilâha illallâh sebagai alasan bagiku untuk bisa membelamu di hadapan Allah.”[7]
Beliau melakukan hal ini juga pada seorang anak Yahudi yang bekerja sebagai pembantu beliau. Kisah ini insya Allah akan disebutkan pada akhir pembahasan ini.
Di antara rahmat beliau kepada orang yang sedang menghadapi kematian adalah memberinya kabar gembira dan membuat dia rindu mendapatkan rahmat Allah. Nabi pernah datang kepada seorang yang berada di ambang kematiannya. Beliau bertanya, “Bagaimana keadaanmu?” Ia menjawab, “Demi Allah, wahai Rasulullah, aku sangat berharap mandapat rahmat Allah dan merasa takut dengan dosa-dosaku.” Rasulullah bersabda:
لاَ يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ مَا يَرْجُوْ وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ.
“Tidak pernah berkumpul dua perasaan ini di hati seorang hamba dalam keadaan seperti ini, kecuali Allah akan memberikan apa yang dia harapkan dan akan memberinya keamanan dari apa yang ia takutkan.”[8]
Rasulullah mendoakan orang yang meninggal di hadapan keluarganya. Ini adalah kasih sayang yang ganda. Di satu sisi beliau mendoakan orang yang meninggal, di sisi lain ia memberikan ketenangan kepada keluarga. Ummu Salamah meriwayatkan bahwa Rasulullah datang kepada Abu Salamah dan pada saat itu mata Abu Salman terbuka. Beliau menutupnya, lalu bersabda:
إِنَّ الرُّوحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ 
“Sesungguhnya ruh ketika dicabut ia akan diikuti oleh pandangan mata.” Keluarganya pun berteriak. Beliau bersabda:
لاَ تَدْعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ بِخَيْرٍ، فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ يُؤَمِّنُوْنَ عَلَى مَا تَقُوْلُوْنَ
 “Janganlah kalian berdoa kepada diri kalian selain kebaikan karena malaikat mengaminkan apa yang kamu ucapkan.” Kemudian beliau berdoa:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ ِلأَبِي سَلَمَةَ، وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِي الْمَهْدِيِّيْنَ، وَاخْلُفْهُ فِي عَقِبِهِ فِي الْغَابِرِيْنَ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ، وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ، وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ.
“Ya Allah, ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya di kalangan mereka yang mendapatkan petunjuk. Berilah ganti yang baik kepada keluarganya sepeninggalnya dan maafkan kami semua wahai Rabb semesta alam. Berikanlah keluasan di dalam kuburnya dan berilah penerangan untuknya disana.”[9]

Artikel ini diambil dari: http://islamstory.com (kajian Dr.Raghib as-sirjani)
Reposter : Izza mujahid


[1] Ada yang meriwayatkan dengan teks 'Hâdimi' yang berarti penghancur. Lihat Tuhfatul Ahwadzi VI/92.
[2] HR Tirmidzi (2307), Nasa'i (1824), Ibnu Majah (4258), Ahmad (7912). Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih dalam Shahîh Al-Jâmi' (1211).
[3] HR Bukhari (6153), Tirmidzi (2333), Ibnu Majah (4114), Ahmad (6156), Ibnu Hibban (698), Thabrani (63), dan Baihaqi (10245).
[4] HR Bukhari (6149), Muslim (2960), Tirmidzi (2379), Nasa’i (1937), Ahmad (12101), dan Ibnu Hibban (3107).
[5] HR Tirmidzi (3537), Ibnu Majah (4253), Ahmad (6160), Ibnu Hibban (628), dan Hakim (7659). Al-Albani menshahihkannya dalam Shahîh Al-Jâmi' (1903).
[6] HR Ahmad (11646), Al-Haitsami menyatakan bahwa para perawinya tsiqah.
[7] HR Muslim (917), Nasa’i (1826), Ibnu Majah (1444), Abu Dawud (3117), dan Ahmad (3004).
[8] HR Tirmidzi (983), Ibnu Majah (4261), Ibnu Abi Dunya (13), dan Baihaqi (1001), Abu Nu'aim VI/292. Al-Albani menshahihkannya dalam Shahîh At-Targhîb (3383).
[9] HR Muslim (920), Abu Daud (3118), Ahmad (26585), dan Ibnu Hibban (7041).

0 Response to " Kasih Sayang Rasulullah Terhadap Muslim yang Meninggal (1) "

Posting Komentar