Tak pernah terpikir oleh Shofiyah binti Huyay dirinya akan menjadi pendamping Rasulullah dan ibu bagi kaum muslimin. Namun, Allah berkehendak menyatukannya dengan sang Nabi. Tidaklah Allah memilih wanita sebagai pendamping Rasulullah, melainkan ia memiliki kelebihan istimewa.
Shofiyah berbeda dengan istri Rasulullah lainnya yang umumnya berasal dari suku Arab. Wanita ini berasal dari Bani Nadhir yang beragama yahudi. Dalam dirinya mengalir darah Bani Israil. Ayah Shofiyah adalah Huyay bin Akhtab, pemimpin sekaligus pemuka agama Bani Nadhir.
Shofiyah berbeda dengan istri Rasulullah lainnya yang umumnya berasal dari suku Arab. Wanita ini berasal dari Bani Nadhir yang beragama yahudi. Dalam dirinya mengalir darah Bani Israil. Ayah Shofiyah adalah Huyay bin Akhtab, pemimpin sekaligus pemuka agama Bani Nadhir.
Shofiyah menceritakan bahwa ayahnya tahu Yatsrib akan menjadi tujuan hijrah bagi nabi terakhir. Saat tersiar berita bahwa Muhammad SAW telah sampai di Quba’, ayah dan pamannya, Abu Yasir bin Akhtab bergegas menemui Rasulullah mewakili Bani Nadhir. Mereka berangkat sebelum matahari terbit dan baru pulang saat matahari telah terbenam.
Sejak pertama kali melihat Muhammad SAW, Huyay bin Akhtab langsung mengenalinya. Orang Yahudi mengenal ciri-ciri rasul terakhir seperti mengenal anaknya sendiri. Tapi kesombongan menutup cahaya hidayah dari hatinya. Ia kecewa karena Nabi yang ia tunggu ternyata berasal dari anak cucu Ismail, bukan berdarah Bani Israil seperti yang ia harapkan.
“Apakah dia nabi yang kita tunggu-tunggu?” tanya Abu Yasir bin Akhtab saat mereka sampai di gerbang Khaibar.
“Benar,” kata Huyay lunglai sambil mengabaikan Shofiyah yang datang menyambutnya.
“Kamu mengenalinya dari sifat dan ciri-cirinya?” tanya Abu Yasir.
“Ya. Sungguh. Ia nabi yang kita tunggu,” jawab Huyay.
“Lalu apa yang ada dalam hatimu saat pertama kali melihatnya?”
Huyay menjawab, “Kebencian. Sungguh. Sepanjang hayatku, aku akan menjadi musuhnya.”
“Benar,” kata Huyay lunglai sambil mengabaikan Shofiyah yang datang menyambutnya.
“Kamu mengenalinya dari sifat dan ciri-cirinya?” tanya Abu Yasir.
“Ya. Sungguh. Ia nabi yang kita tunggu,” jawab Huyay.
“Lalu apa yang ada dalam hatimu saat pertama kali melihatnya?”
Huyay menjawab, “Kebencian. Sungguh. Sepanjang hayatku, aku akan menjadi musuhnya.”
Esok harinya, Bani Nadhir berkumpul untuk menentukan sikap. Abu Yasir menyarankan untuk mengikuti Muhammad SAW. “Wahai kaumku! Ikutilah aku. Sungguh, Allah telah mendatangkan orang yang selama ini kalian tunggu. Ikutilah dia dan jangan menyelisihinya,” kata Abu Ammar.
Namun Huyay bin Akhtab memilih menjadi musuh Nabi. Tak ia gubris nasehat dan peringatan saudaranya. Pada akhirnya, Bani Nadhir mengikuti pendirian Huyay bin Akthab karena ia ketua kaum.
Namun Huyay bin Akhtab memilih menjadi musuh Nabi. Tak ia gubris nasehat dan peringatan saudaranya. Pada akhirnya, Bani Nadhir mengikuti pendirian Huyay bin Akthab karena ia ketua kaum.
Sejak awal, Huyay mengarahkan Bani Nadhir membenci Islam. Diam-diam mereka merusak kesepakatan Piagam Madinah untuk saling menghormati dan menjaga. Bahkan, dalam Perang Khandaq sisa-sisa orang Yahudi bekerja sama dengan Musyrikin Arab untuk melibas Islam. Pengkhiatan tersebut mereka tebus dengan harga mahal. Kaum muslimin menghukum mereka setelah kalah dalam Perang Khaibar. Para pria dijatuhi hukuman mati, sedangkan wanita dan anak-anak menjadi tawanan perang.
Shofiyah binti Huyay, putri tercantik dari Khaibar menjadi tawanan perang. Hampir saja Shofiyah menjadi budak Dihyah Al Kalbi. Namun, seorang sahabat mengarahkan Rasulullah SAW agar tidak menyerahkan Shofiyah kepada orang lain dengan beberapa pertimbangan. Rasulullah SAW lalu memanggil Dihyah bersama Shofiyah. Setelah melihatnya, Rasulullah SAW menyuruh Dihyah memilih tawanan lain. Sedangkan Shofiyah beliau pilih untuk beliau pinang. Sejak saat itu Rasulullah SAW memerdekakannya dan menjadikan hal itu sebagai mahar bagi Shofiyah.
Pernikahan Shofiyah dengan Nabi adalah pernikahannya yang ketiga. Sebelumnya, Shofiyah pernah menikah dengan penyair bernama Sallam bin Misykam. Setelah keduanya bercerai, Shofiyah menikah lagi dengan Kinanah bin Abi Huqaiq, seorang penyair yang tewas pada perang Khaibar.
Pernikahan Shofiyah dengan Rasulullah digelar dalam perjalanan pulang ke Madinah dengan acara yang sederhana. Saat itu beliau melihat ada bekas memar di kelopak mata Shofiyah. Beliau bertanya, “Ada apa di kedua matamu?”
Shofiyah lalu menceritakan kejadian unik yang ia alami, “Sebelum anda datang ke sini, aku bermimpi bulan purnama turun di kamarku. Kemudian aku ceritakan hal itu kepada suamiku. Tiba-tiba suamiku marah dan menamparku. Ia membentak, Apakah engkau mengharapkan penguasa Yatsrib (Madinah)?”
Shofiyah lalu menceritakan kejadian unik yang ia alami, “Sebelum anda datang ke sini, aku bermimpi bulan purnama turun di kamarku. Kemudian aku ceritakan hal itu kepada suamiku. Tiba-tiba suamiku marah dan menamparku. Ia membentak, Apakah engkau mengharapkan penguasa Yatsrib (Madinah)?”
Shofiyah tidak menyangka bahwa bulan purnama itu adalah Rasulullah. Secara fisik, wajah Rasulullah putih dan cerah bak bulan purnama. Mimpi yang dilihat Shofiyah sebenarnya adalah sebuah isyarat dari Allah.
Pernikahannya dengan Rasulullah mengantarkannya untuk memeluk agama Islam. Agama yang sebelumnya ia benci, kini sangat ia cintai. Rasulullah yang sebelumnya ia benci kini menjadi orang yang paling ia kagumi.
Pernikahannya dengan Rasulullah mengantarkannya untuk memeluk agama Islam. Agama yang sebelumnya ia benci, kini sangat ia cintai. Rasulullah yang sebelumnya ia benci kini menjadi orang yang paling ia kagumi.
Kecantikan Shofiyah dibanding istri nabi yang kadang memancing kecemburuan. Suatu ketika, ia mendengar Hafshah dan Aisyah mengungkit-ungkit asal-usulnya dari orang Yahudi. Betapa sedih perasaannya, hingga ia mengadu kepada Rasulullah sambil menangis.
Rasulullah menghiburnya, “Mengapa tidak engkau katakan, bagaimana kalian berdua lebih baik dariku? suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa.”
Rasulullah menghiburnya, “Mengapa tidak engkau katakan, bagaimana kalian berdua lebih baik dariku? suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa.”
Rasa cemburu terhadap Shofiyah juga pernah muncul dari Zainab. Ketika itu keluarga besar Rasulullah berangkat bersama untuk menunaikan Haji Wada’. Unta yang dikendarai Shofiyah kelelahan hingga tak mampu berjalan. Sementara itu, unta Zainab binti Jahsyi berlebih. Rasulullah meminta Zainab memberikan salah satu untanya untuk membawa Shofiyah.
Namun Zainab menjawab ketus, “Akankah aku memberi kepada seorang perempuan Yahudi?”
Kata-kata itu berbuntut panjang. Rasulullah menegur zainab atas kalimat pedasnya. Tak hanya itu, beliau tidak mendatangi Zainab selama tiga bulan hingga zainab sangat menyesal.
Namun Zainab menjawab ketus, “Akankah aku memberi kepada seorang perempuan Yahudi?”
Kata-kata itu berbuntut panjang. Rasulullah menegur zainab atas kalimat pedasnya. Tak hanya itu, beliau tidak mendatangi Zainab selama tiga bulan hingga zainab sangat menyesal.
Asal-usul Shofiyah juga pernah mengundang masalah. Suatu ketika salah satu budak wanitanya menemui Umar dan mengatakan omongan miring tentang Shofiyah. Dua hal yang disebutnya; Shofiyah masih suka hari sabtu dan kerap mengunjungi orang-orang yahudi. Umar yang saat itu menjabat sebagai khalifah tak langsung percaya dengan berita itu. Ia pun menemui Shofiyah untuk mengklarifikasi berita tersebut.
Shofiyah lalu meluruskan berita itu. “Adapun hari sabtu, aku tidak lagi menyukainya sejak Allah menggantikannya dengan hari jumat untukku. Lalu mengapa aku sering menjenguk orang Yahudi, karena aku sebagian keluargaku masih ada yang bergama yahudi. Sampai sekarang aku masih menjaga tali silaturrahim dengan mereka.”
Bagi Shofiyah, masalah-masalah yang dihadapinya itu tak lebih dari riak-riak ujian untuk membuktikan keimanan. Shofiyah memang pernah beragama Yahudi, tapi itu adalah masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam. Sejarah Islam mencatatnya sebagai Istri Rasulullah dan ibunda bagi kaum muslimin.
sumber:arrisalah
0 Response to " Shofiyah binti Huyay Putri Tercantik Khaibar "
Posting Komentar