Mendahulukan Sunnah sebagai Solusi Umat dari Perpecahan


Mendahulukan dalil nagli [referensial] daripada dalil aqli [rasional] adalah bagian dari prinsip manhaj salaf. Dalam realitas, prinsip inilah yang membedakan antara para pengikut manhaj yang benar dan para pengikut manhaj atau ideologi sesat. Ketika Allah telah berfirman, tidak ada seorang pun yang menyelisihinya dan jika Rasulullah saw telah bersabda, tidak ada seorang pun yang membantah.
Ahlus sunnah menghormati dan terdidik dengan nash yang datang dalam Al-Kitab dan Sunnah yang shahih. Mereka mengamalkan firman Allah swt, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat [49] : 1).
Maksud ayat tersebut ialah mendahulukan akal daripada nash yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya. Pemahaman ini telah jelas sekali dalam diri para sahabat, bahkan Ibnu Abbas menyampaikan ucapan yang memenuhi dunia. Ia berkata :

تُوْشَكُ أَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ حِجَارَةً مِنَ السَّمَاءِ، أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُوْنَ: أَبُوْ بَكْرٍ وَقَالَ عُمَرَ

“Hujan batu nyaris turun kepada kalian dari langit (karena ketika) aku berkata, ‘Rasulullah saw bersabda,’ kalian malah berkata, ‘Abu Bakar berkata; Umar berkata’.”
Manhaj ini dipahami secara jelas oleh para sahabat. Ketika Rasulullah saw telah bersabda, maka tidak ada ungkapan lain apa pun yang menyelisihi sabda beliau. Walaupun itu perkataan Abu Bakar, atau Umar. Padahal, keduanya adalah dua guru Islam sekaligus khalifah rasyidah setelah Rasulullah saw.
Umar bin Al-Khattab pernah berkata, “Rendahkanlah oleh kalian pendapat akal dalam agama karena aku pernah mendapatkan kehinaan itu pada peristiwa Abu Jandal karena menolaknya (yakni sabda Rasulullah n).” Kala itu, Umar berkata :
“Bukankah kita berada dalam kebenaran dan mereka berada dalam kebatilan? Tetapi, mengapa kita menerima kehinaan untuk agama kita?”
Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Tahanlah logikamu, karena aku adalah utusan Allah dan Dia tidak akan menelantarkan diriku.”
Merasa tidak puas, Umar pun pergi ke Abu Bakar dan berkata kepadanya, “Mengapa kita menerima kehinaan untuk agama kita? Bukankah kita berada dalam kebenaran dan mereka berada dalam kebatilan?”
Umar ketika itu berpikir bahwa kesepakatan yang disetujui pada perjanjian Hudaibiyah, isinya merupakan kehinaan besar bagi umat Islam. Namun setelah itu, berkah Rasulullah saw pun tampak.
Dalam perjalanan pulang Rasulullah saw dari Hudaibiyah, surat Al-Fath pun turun. Semua ayatnya adalah kabar gembira dan semuanya adalah kebaikan bagi Rasulullah saw dan umat Islam. Bahkan, salah seorang sahabat berkata, “Kalian menganggap kemenangan itu adalah penaklukan Mekkah, sedangkan kami menganggap kemenangan itu adalah perjanjian Hudaibiyah. Karena setelah perjanjian itu kemenangan dan kebaikan pun datang disebabkan oleh berkah berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ali r.a. juga berkata, “Seandainya agama ini dengan logika, niscaya bagian bawah sepatu itu lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya.”
Jadi, agama ini dengan dalil nagli bukan dengan dalil aqli. Pembuat syariat yang mengatakan bahwa mengusap bagian atas sepatu, itu merupakan bagian yang jarang sekali bersentuhan dengan tanah. Seandainya agama ini dengan logika, tentu yang diusap adalah bagian bawahnya, bukan bagian atas.
Bagaimana Sunah mencegah Perpecahan Umat?
Sunnah itu akan menyatukan para penganutnya. Karena itu, Nabi saw bersabda, “Karena orang yang akan hidup di antara kalian akan melihat banyak perselisihan.” Beliau lalu bersabda, “Karena itu, berpeganglah kepada sunnahku.” Jadi, solusi perpecahan adalah mengikuti Sunnah. Sebab, Sunnah itu hanya satu dan tidak beragam.
Akan tetapi, seandainya Anda mengikuti logika dan keinginan; logika dan keinginan seorang guru, misalnya; atau Anda sendiri juga mengikuti logika dan keinginan Anda, atau keinginan mayoritas orang di lingkungan Anda, serta orang lain juga seperti itu, padahal keinginan dan logika itu berbeda-beda, maka umat berselisih itu merupakan suatu keniscayaan.
Ini berbeda ketika Anda mendahulukan sabda Rasulullah saw daripada perkataan siapa saja dan Anda pun melakukan itu, maka persatuan itu juga suatu keniscayaan. Sebab, Sunnah itu hanya satu dan tidak berpecah.
Oleh karena itu, orang-orang mengatakan “Ahlus sunnah wal jamaah”, “Ahlul bid’ah wal ikhtilaf”. Jadi, Sunnah itu akan menyatukan, sedangkan bid’ah itu akan memecah belah.
Tidak Ada Persatuan dan Toleran dalam Persoalan Akidah
Ada ungkapan yang populer dan dipegang sebagian orang, “Kita bantu-membantu dalam masalah yang kita sepakati, dan toleran dalam masalah yang kita perselisihkan.” Tidak diragukan bahwa ucapan seperti ini tertolak walaupun disampaikan oleh ulama umat Islam yang paling pandai sekali pun. Karena, kita terkadang berbeda pendapat dalam persoalan yang telah pasti yang tidak mengandung perbedaan, seperti asma wa sifat; qadha dan qadar; atau kafir dan iman.
Ketika dikatakan kepada Abdullah bin Umar, “Di kampung kami ada orang-orang yang mengatakan bahwa tidak ada takdir dan semua persoalan itu belum pernah ditetapkan; tanpa takdir sebelumnya.”
Mereka adalah orang-orang Qadariyah yang menafikan pengetahuan Allah swt. terhadap segala sesuatu sebelum terjadi; menafikan ketetapan-Nya swt. terhadap takdir; menafikan kehendak-Nya. Mereka menetapkan bahwa hamba itu menciptakan perbuatannya sendiri. Mereka menafikan semua tingkatan iman kepada qadha dan qadar yang telah ditetapkan oleh ahlus sunnah wal jamaah.
Ketika hal itu didengar oleh Ibnu Umar, ia tidak berkata, “Kita bantu-membantu dalam masalah yang kita sepakati, dan toleran dalam masalah yang kita perselisihkan.” Tetapi, ia berkata, “Beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka bukan golonganku, dan aku pun bukan golongan mereka.”
Kalimat Ibnu Umar merupakan prinsip salaf dalam bermuamalah dengan ahli bid’ah. Persoalan fikih memang terkadang mengandung berbagai perkataan, pendapat, dan ijtihad, sedangkan persoalan aqidah itu tidak mengandung perselisihan.
Suatu kelompok (firqah) itu akan menjadi kelompok (sesat) bila para penganutnya menyelisihi ahlus sunnah wal jamaah dalam persoalan yang sudah pasti, seperti asma wa sifat; qadha dan qadar; kafir dan iman; sahabat Nabi saw dan ahlul bait beliau; atau mereka menyelisihi ahlus sunnah dalam banyak hal. Sehingga, hal itu menjadi bagian besar yang menghancurkan syariat, lalu menggantikan posisi prinsip yang telah sempurna. Maka, dengan itu sebuah kelompok akan menjadi kelompok sesat.
Karena perbuatan bid’ah itu akan mengakibatkan perpecahan, maka Mu’tazilah pun berubah menjadi sebuah kelompok (firqah); Asy’ariyah itu adalah firqah; Sufi itu adalah firqah; Khawarij itu adalah firqah; dan semua kelompok yang menyalahkan selain mereka adalah firqah. Ini seperti perkataan orang-orang Yahudi, “Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan.”
Walhasil, berpegang kepada Sunnah adalah solusi perpecahan. Karena, menurut takdir, umat ini tidak mungkin akan bersatu, namun menurut syariat, mereka juga tidak boleh bersatu dalam selain kebenaran. Karena, umat ini tidak akan bersatu dalam kesesatan. Bila umat bersatu dalam sesuatu, persatuan itu harus dalam kebenaran.
Jadi, tidak ada lagi yang lain kecuali berpegang kepada Sunnah. Inilah solusi perselisihan. Bukan dengan saling memahami satu sama lain, apa pun perbedaannya, sehingga ada orang-orang yang mau mengulurkan tangan persatuan kepada orang-orang Syiah yang telah mengkafirkan para sahabat dan mencela Al-Qur’an. Selain itu, Syiah banyak memiliki kekafiran dan berbagai hal yang mengeluarkan mereka dari milah Islam. [Agus Abdullah]
*Source: As-Salafiyah; Qawa’id wa Usul, karya Dr. Ahmad Farif, hal. 10-12.
source

0 Response to " Mendahulukan Sunnah sebagai Solusi Umat dari Perpecahan "

Posting Komentar