Persoalan dunia menjadi sangat dekat dengan kita karena keberadaannya yang terinderai. Ia alami dan bisa dinikmati melalui indera perasa kita. Keindahannya terlihat mata, kemerduannya terdengar telinga, kelezatannya tercecap lidah, keharumannya tercium hidung, dan kelembutannya terasa kulit. Kesemuanya membuai jiwa karena menjadi sarana pencapaian lezatnya dunia. Sungguh, ia adalah daya tarik yang sangat sulit ditolak. Sedang kita sangat tergesa untuk merasakan semuanya.
Di sisi lain, akhirat beserta semua yang mengiringinya adalah masalah iman dan keyakinan, sebanyak apapun nash dihadirkan. Ia rumit dan sulit terjangkau tanpa penghubung dan sarana yang memadai berupa ilmu dan keyakinan. Hal yang membuat pesona dunia menjadi lebih kuat dan hebat bagi mayoritas manusia sebab kehilangan jejak, bahkan putus hubungan dengan akhirat.
Padahal, untuk memahami berbagai masalah dunia maupun akhirat itu, ada begitu banyak sebab yang bisa ditelusuri. Seperti berinteraksi dengan sesama, melihat beraneka kebaikan dunia, juga menikmati kelezatan dunia sebagai sarana penguatan penginderaan akan berbagai kejadian dunia. Atau beruzlah, merenung dalam kesendirian, dan berfikir tentang berbagai kejadian alam untuk terhubung dengan akhirat.
Bukankah kemilau pesta membuat kita mabuk dunia, sedang berziarah ke kuburan akan terjadi yang sebaliknya? Di tempat yang satu hati kita mengeras, sedang di tempat satunya, insyaallah ia akan melunak.
Mari kita merenung, merasakan perbedaan di antara keduanya. Tapi mampukah kita? Padahal kemampuan ini akan menjadi bukti adanya penghubung antara kita dengan akhirat, sebagaimana ada juga hal yang menghubungkan kita dengan dunia dan memutuskan kita dari akhirat. Masing-masing dalam frekwensinya sendiri, dan di luar sana, hal itu jumlahnya bisa berjuta-juta.
Maka kita harus memaksa diri untuk meluangkan waktu guna beruzlah, berdzikir dan ‘melihat’ alam ini dalam perenungan yang dalam. Karena uzlah adalah pertahanan dari godaan dunia, sedang ilmu dan perenungan adalah obat bagi hati yang mengeras dan otak yang menumpul. Dimana obat tidak akan bermanfaat jika kita terus bergumul dengan penyakit. Dan nash-nash rabbani akan kehilangan kedigdayaannya jika masih menyibukkan diri dengan kenikmatan dunia.
Dari sini, kesibukan dan interaksi kita dengan dunia bisa menjadi sebab kotornya hati, rendahnya cita-cita dan terputusnya kita dari akhirat. Sehingga kita harus membersihkan hati dan menajamkan akal untuk mencapai keshalihan diri dan menemukan penghubung dengan akhirat. Agar ia bukan sekedar keyakinan abstrak sebab tidak terjangkau indera.
Sebab tanpa semua itu, harapan akan keshalihan dalam ketertenggelaman syahwat adalah kemustahilan.
Sebab tanpa semua itu, harapan akan keshalihan dalam ketertenggelaman syahwat adalah kemustahilan.
sumber: arrisalah
0 Response to " Mencari Penghubung Keyakinan "
Posting Komentar